SISTEM LAYANAN PENDIDIKAN SISWA TUNARUNGU
Makalah ini
disusun untuk menyelesaikan tugas
Rehabilitasi
Anak Berkebutuhan Khusus
Semester 1
Pengampu : Drs. A. Salim Choiri, M.Kes
Disusun oleh:
Nama : Intan Febrika Ramaswami
Nim : K5112034
Kelas : A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012/2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... ...I
DAFTAR ISI................................................................................................... II
GARIS BESAR ISI ARTIKEL............................................................................ 1
TELAAH KRITIS
Pendapat
Ahli......................................................................................... 4
Pendapat
Sendiri..................................................................................... 4
Hasil
Penelitian....................................................................................... 5
SIMPULAN..................................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 6
LAMPIRAN.................................................................................................... 7-11
GARIS BESAR ISI
ARTIKEL
Pelaksanaan pendidikan dan atau rehabilitasi bagi anak tunarungu
di beberapa lembaga pendidikan dan panti hingga saat ini, nampaknya belum semua
dapat menghantarkan lulusannya sejajar dengan anak normal. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain kualitas tenaga kependidikan, kualitas LPTK
penghasil guru SLB, kurikulum dan sistem pembelajarannya, sarana dan prasarana,
pemerintah yang berpihak kepada masyarakat yang cacat, kompetensi birokrasi
yakni birokrasi yang berpendidikan sesuai dengan bidangnya, birokrasi yang
mengabdi secara professional dan yang tidak kalah pentingnya adalah dunia usaha
yang humanis serta peduli atau berpihak kepada mereka.
Masalah
yang akan muncul akibat ketunarunguan antara lain adalah:
·
Masalah dalam
hal perceptual
·
Masalah dalam
hal komunikasi dan bahasa
·
Masalah dalam
bidang kognitif
·
Masalah dalam
bidang pendidikan
·
Masalah dalam
bidang emosi
·
Masalah dalam
bidang social
·
Masalah dalam
hal memperoleh pekerjaan atau vokasional
·
Masalah bagi
orangtua dan masyarakat.
Itu
dilatarbelakangai karena hilangnya fungsi pendengaran untuk mendengar bunyi
bahasa yang dapat mengantarkan seseorang dalam jajaran manusia intelektual. Anak
tunarungu dapat disebut sebagai children
with problem in learning (anak dengan problema dalam belajar), yang
membawa konsekuensi kepada children
with special needs (anak dengan kebutuhan khusus). Ketunarunguan yang
berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap
menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat
dibuktikan terutama di Indonesia hingga kini layanan pendidikan bagi anak
tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi
anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada
umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB).
Namun upaya untuk menempatkan anak
tunarungu sejajar dengan anak normal, bukanlah hal yang mudah. Aspek
penting dalam pendidikan untuk menyiapkan masa depan anak tunarungu
adalah dengan adanya pola sistem layanan pendidikan tunarungu, dengan adanya
layanan deteksi dan intervensi dini bagi anak tunarungu, dengan memberikan
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi secara tepat. Namun hingga saat ini
program deteksi dan intervensi dini dalam layanan pendidikan, belum dapat dinikmati
oleh semua masyarakat yang memiliki anak tunarungu. Karena program ini belum menjadi
prioritas penting bagi pemerintah Indonesia, serta masyarakat dalam
penyelenggara pendidikan anak tunarungu.
Menurut derajat kehilangan daya dengarnya,
secara ekstrem ketunarunguan dibagi menjadi dua, yakni kurang dengar jika derajat kehilangan kemampuan dengar anak
tersebut kurang dari 90 dB, dan tuli (deaf) jika kehilangan
kemampuan dengar anak tersebut lebih dari 90 dB. Menurut tempat terjadinya
kerusakan pendengaran, ketunaruan terbagi menjadi dua, yakni tunarungu
Konduktif jika anak mengalami kerusakan pada telinga bagian luar/tengah,
dan tunarungu perseptif jika anak mengalami kerusakan pada telinga bagian
dalam/cochlea). Menurut penyebabnya, ketunarunguan
bisa disebabkan karena faktor keturunan, kelahiran dengan resiko tinggi dan
karena penyakit. Sedangkan menurut umur saat kehilangan pendengaran ada
tunarungu prelingual < ± 2th, jika anak tersebut mengalami ketulian sebelum
anak berbahasa dan tunarungu postlingual > ± 3 th, jika anak mengalami
ketulian sesudah anak berbahasa. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
ketunarunguan adalah keadaan kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh
gradasi baik ringan, sedang, berat, dan sangat berat, yang walaupun telah
diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Ketunarunguan digolongkan ke dalam kurang dengar dan tuli.
Ketunarunguan akan menyebabkan anak miskin
dalam kosakata, terganggu bicaranya, dalam berbahasa dipengaruhi
emotional/visual order, cenderung pemata, bahasa merupakan hasil interaksi
mereka dengan hal-hal yang konkrit, sifat egosentris > anak dengar ,
impulsive, sifat kaku (rigidity), sifat lekas marah dan mudah tersinggung,
memiliki perasaan ragu-ragu, memiliki sifat polos, Sering berada dalam keadaan
ekstrim tanpa banyak nuansa. Adapun cara mengatasi dampak ketunarunguan
tersebut adalah dengan memberikan kemampuan berbahasa dengan pendekatan yang
tepat dan memberikan cara-cara komunikasi. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika
tata kelola dan penyelenggaraan pendidikan di SLB B menggunakan kompetensi
bahasa dalam mendidik dan menyiapkan siswa tunarungu ke masa depan.
Maka
A. van Uden mengembangkan
suatu metode atau model
pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar tahapan
perkembangan bahasa pada anak dengar karena tidak semua anak tunarungu berhasil
dididik untuk mengungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai orang
normal, yaitu secara oral, Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan
berbagai cara berkomunikasi. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam
pembelajaran yakni :
·
Aliran Oral :
ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa
pendengarannya).
·
Aliran Manual :
Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad
jari/SIBI
·
Aliran Campuran
: secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total
·
Aliran Auditory
Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran.
Sedangkan pendekatan
pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi:
·
aliran
Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal
·
aliran Natural
yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan
bahasa ibu.
Pada pertengahan abad 20 ini
muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan
Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal
Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal
Reflektif kita akan membawa anak
tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang
dipakai oleh lingkungannya.
Metode
Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina
Persepsi Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara
terprogram , kontinyu dan berkesinambungan
TELAAH KRITIS
Ø Menurut
pendapat ahli
Helen Keller, seorang penyandang
tunarungu dan tunanetra, bahwa ketunarunguan merupakan musibah yang lebih buruk
daripada ketunanetraan, karena kehilangan rangsangan yang paling vital, yaitu
suara manusia yang membawa bahasa, yang dapat mengubah pikiran dan menempatkan
seseorang dalam jajaran manusia intelektual.
A.van Uden;
seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak tunarungu yang ditangani secara
dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi
yang mendengar, akan terhindar dari ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang
amat jauh dari anak dengar seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan
suatu metode atau model
pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar tahapan
perkembangan bahasa pada anak dengar.
(Leigh,
1994 dalam Nugroho, 2004) tanpa pendidikan khusus, mereka tidak akan mengenal lambang
bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan
perasaan
serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam
lingkungannya
(Unesco, 1994)
mengakui prinsip bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi‑kondisi
lainnya
Yang dimaksud
dengan inklusi bagi anak tunarungu adalah pendidikannya yang dilaksanakan di
dalam kelas reguler bersama-sama dengan siswa-siswa yang berpendengaran normal
(Nowell & Innes, 1997).
Meskipun
telah ada berbagai upaya untuk mendidik anak tunarungu di sekolah reguler,
sekitar 80% siswa tunarungu di Amerika Serikat dilayani di sekolah-sekolah
khusus (Cohen, 1995).
Ø Menurut
pendapat sendiri
Menurut saya pendidikan itu sangat penting, bukan hanya
untuk anak normal saja melainkan juga untuk anak berkebutuhan khusus seperti
anak tunarungu, namun kenyataannya pendidikan untuk anak tunarungu kurang
diperhatikan oleh pemerintah, ini terbukti kurikulum dan sistem pembelajarannya
yang berbeda, dan juga sarana dan
prasarana yang kurang mendukung. Sebaiknya mereka berada di sekolah inklusi/
sekolah umum tapi diberi fasilitas khusus untuk mendukung prose belajarnya,
seperti alat bantu dengar. Dengan demikian mereka mendapat kurikulum yang sama
dengan anak normal dan dapat mengikuti pelajaran seperti anak normal lainnya.
Ø Menurut hasil
penelitian
Dibuktikan di Indonesia hingga kini
layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif,
yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah
dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini
adalah yang lazim dikenal dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Menurut laporan
tahunan Pusat Asesmen dan Studi Demografik (CADS) di Gallaudet University
(Schildroth & Hotto, 1996, dalam Easterbrooks, 1997), hanya 21% siswa
tunarungu di Amerika serikat bersekolah di sekolah berasrama (residential
school) khusus bagi tunarungu, 8% di sekolah khusus pulang setiap hari (day school), dan 70% di sekolah-sekolah
reguler di lingkungan tempat tinggalnya.
SIMPULAN
Salah
satu aspek penting dalam pendidikan untuk menyiapkan masa depan anak
tunarungu adalah dengan adanya pola sistem layanan pendidikan tunarungu, dengan
adanya layanan deteksi dan intervensi dini bagi anak tunarungu, dengan
memberikan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi secara tepat. Atau memberikan
layanan pendidikan khusus untuk anak tunarungu seperti sekolah luar biasa
(SLB), namun tidak menutup kemungkinan untuk memberikannya layanan pendidikan
inklusi untuk anak tunarungu yang dapat menyesuaikan dengan anak normal
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SISTEM LAYANAN PENDIDIKAN SISWA TUNARUNGU
DR.Br. G.BAMBANG NUGROHO
Jumat, 29 April 2011
Dalam era globalisasi
dan persaingan pasar bebas seperti sekarang ini, terjadilah akselerasi dalam
setiap segmen kehidupan, salah satunya dalam bidang pendidikan. Kemajuan
dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi dapat mendorong terjadinya
persaingan yang semakin tajam. Hal ini mengharuskan setiap penggerak pendidikan
maupun organisasi sosial, utamanya yang berkecimpung dalam pendampingan
penyandang cacat, khususnya tunarungu, baik melalui penyelenggaraan
pendidikan maupun dalam pendampingan sosial lainnya, hendaknya memiliki
keunggulan komparatif dalam praktek pendampingan terhadap kaum tunarungu. Pola
pendampingan dan pendidikan yang tepat, dan bermartabat, akan menghantar
kaum tunarungu ke masa depan yang lebih cerah.
Namun
permasalahannya adalah pelaksanaan pendidikan dan atau rehabilitasi bagi anak
tunarungu di beberapa lembaga pendidikan dan panti hingga saat ini, nampaknya
belum semua dapat menghantarkan lulusannya sejajar dengan teman-teman sebayanya
yang mendengar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kualitas
tenaga kependidikan, kualitas LPTK penghasil guru SLB, kurikulum dan sistem
pembelajarannya, sarana dan prasarana, pemerintah yang berpihak kepada
masyarakat yang cacat, kompetensi birokrasi yakni birokrasi yang berpendidikan
sesuai dengan bidangnya, birokrasi yang mengabdi secara professional dan yang
tidak kalah pentingnya adalah dunia usaha yang humanis serta peduli atau
berpihak kepada mereka.
Ketunarunguan yang
diderita anak sejak lahir akan menimbulkan berbagai permasalahan yang
menyangkut seluruh hidup dan penghidupan penyandangnya. Boothroyd lebih rinci
memprediksikan masalah yang akan muncul akibat ketunarunguan tersebut antara
lain adalah: (1) masalah dalam hal perseptual, (2) masalah dalam hal komunikasi
dan bahasa, (3) masalah dalam bidang kognitif, (4) masalah dalam bidang
pendidikan, (5) masalah dalam bidang emosi, (6) masalah dalam bidang sosial,
(7) masalah dalam hal memperoleh pekerjaan atau vokasional, dan (8) masalah
bagi orangtua dan masyarakat. Prediksi tersebut dilatarbelakangi suatu
pemikiran bahwa anak tunarungu, karena sesuatu hal yang mengakibatkan hilangnya
sebagian atau seluruh pendengarannya, sehingga bunyi atau suara yang dihasilkan
oleh sumber bunyi menjadi kurang dan atau tidak berarti, terutama bunyi bahasa
yang dapat mengantarkan seseorang dalam jajaran manusia intelektual. Hal ini
dipertegas oleh pengakuan Helen Keller, seorang penyandang tunarungu dan
tunanetra, bahwa ketunarunguan merupakan musibah yang lebih buruk daripada
ketunanetraan, karena kehilangan rangsangan yang paling vital, yaitu suara
manusia yang membawa bahasa, yang dapat mengubah pikiran dan menempatkan
seseorang dalam jajaran manusia intelektual. Dengan hilangnya kemampuan
mendengar tersebut, maka anak tunarungu dapat disebut sebagai children with
problem in learning (anak dengan problema dalam belajar), yang membawa
konsekuensi kepada children with special needs (anak dengan kebutuhan
khusus). Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan
dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan
pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia hingga kini
layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif,
yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah
dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini
adalah yang lazim dikenal dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Sebagai individu
yang merupakan sesama warganegara, anak tunarungu juga memiliki hak yang
sama dalam memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan yang mereka
butuhkan, karena pendidikan itu merupakan suatu hal yang bersifat kodrati,
alami dan manusiawi. Oleh sebab itu tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan
merupakan salah satu hak dasar bagi setiap individu manusia, termasuk
didalamnya anak tunarungu. Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak
tunarungu sejajar dengan anak yang mendengar, bukanlah hal yang mudah.
Banyak variabel yang sangat berpengaruh dalam menyiapkan anak tunarungu untuk
meraih masa depannya.
Salah satu aspek
penting dalam pendidikan untuk menyiapkan masa depan anak tunarungu
adalah dengan adanya pola sistem layanan pendidikan tunarungu, dengan adanya
layanan deteksi dan intervensi dini bagi anak tunarungu, dengan memberikan
kemampuan berbahasa dan berkomunikasi secara tepat. Namun hingga saat ini
program deteksi dan intervensi dini dalam layanan pendidikan, belum dapat
dinikmati oleh semua masyarakat yang memiliki anak tunarungu. Karena program
ini sesunggunnya belum menjadi prioritas penting bagi pemerintah Indonesia,
serta masyarakat khususnya dalam penyelenggara pendidikan anak tunarungu.
Atas dasar
analisis permasalahan tersebut, maka dalam penataran ini akan dilakukan suatu
kajian kritis dan sekaligus sosialisasi tentang penataan pola pelayanan
pendidikan dan pendampingan anak tunarungu, mulai dari konsep pendidikannya
yang ditinjau dari berbagai aspek, sampai pada tata kelola layanan pendidikan
di sekolah luar biasa, sehingga diharapkan dapat membantu para guru dalam
mempersiapkan masa depan mereka.
Hakikat Ketunarunguan
Menurut derajat
kehilangan daya dengarnya, secara ekstrem ketunarunguan dibagi menjadi dua,
yakni kurang dengar jika derajat kehilangan kemampuan dengar anak
tersebut kurang dari 90 dB, dan tuli (deaf) jika kehilangan
kemampuan dengar anak tersebut lebih dari 90 dB. Menurut tempat terjadinya
kerusakan pendengaran, ketunaruan terbagi menjadi dua, yakni tunarungu
Konduktif jika anak mengalami kerusakan pada telinga bagian luar/tengah,
dan tunarungu perseptif jika anak mengalami kerusakan pada telinga bagian
dalam/cochlea). Menurut penyebabnya,
ketunarunguan bisa disebabkan karena taktor keturunan, kelahiran dengan resiko
tinggi dan karena penyakit. Sedangkan menurut umur saat kehilangan pendengaran
ada tunarungu prelingual < ± 2th, jika anak tersebut mengalami ketulian
sebelum anak berbahasa dan tunarungu postlingual > ± 3 th, jika anak
mengalami ketulian sesudah anak berbahasa. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah keadaan kehilangan pendengaran yang
meliputi seluruh gradasi baik ringan, sedang, berat, dan sangat berat, yang
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Ketunarunguan digolongkan ke dalam kurang dengar
dan tuli.
Ada beberapa
karakteristik sebagai dampak sekunder dari ketulian tersebut, bahwa
ketunarunguan akan menyebabkan anak miskin dalam kosakata, terganggu bicaranya,
dalam berbahasa dipengaruhi emotional/visual order, cenderung pemata, bahasa
merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkrit, sifat egosentris
> anak dengar , impulsive, sifat kaku (rigidity), sifat lekas marah dan
mudah tersinggung, memiliki perasaan ragu-ragu, memiliki sifat polos, Sering
berada dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa. Adapun cara mengatasi dampak
ketunarunguan tersebut adalah dengan memberikan kemampuan berbahasa dengan
pendekatan yang tepat dan memberikan cara-cara komunikasi. Hal ini akan dapat
dilaksanakan jika tata kelola dan penyelenggaraan pendidikan di SLB B
menggunakan kompetensi bahasa dalam mendidik dan menyiapkan siswa tunarungu ke
masa depan.
Sistem Layanan Pendidikan Tunarungu
Anak yang
mendengar, semasa usia balita, akan secara spontan
menemukan bermacam-macam lambang; baik lambang untuk benda, berbagai
kegiatan, maupun segala perasaan orang, serta menemukan aturan tata bahasa yang
dipakai oleh ibunya. Lambang bahasa serta aturan tata bahasa yang telah
ditemukan tersebut kemudian diterapkan secara tepat dalam percakapan
sehari-hari tanpa mengetahui istilah tata bahasa bakunya. A.van
Uden; seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak
tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan
dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi yang mendengar, akan terhindar dari
ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang amat jauh dari anak dengar
seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan suatu metode
atau model pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar
tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.
Permasalannya
adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat mendengar/
terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat
berkomunikasi secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua
anak tunarungu berhasil dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang
lazim dipakai orang dengar, yaitu secara oral.
Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya.
Kebanyakan guru SLB-B tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya). (2) Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI (3) Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya. Bagaimana MMR tersebut diimplementasikan di SLB B ??
Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya.
Kebanyakan guru SLB-B tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya). (2) Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI (3) Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya. Bagaimana MMR tersebut diimplementasikan di SLB B ??
Metode Maternal
Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan Bina
Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina
Persepsi Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara
terprogram , kontinyu dan berkesinambungan. Bagaimana Bina Wicara, BPBI,
Bina Isayarat tersebut dilaksanakan di SLB B ?
Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang
Ideal
Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke
generalis, pendekatan interdisipliner dengan meningkatkan kelenturan dalam
menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi tunarungu.
Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah,
baik sebagai manager maupun leader yang memahami atau menguasai bidang
keahliannya dalam pendidikan tunarungu, sehingga terampil mengelola
sistem pendidikan tunarungu.
Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan
“Kurikulum Lintas Bahasa”, dengan pendekatan metode pemerolehan bahasa dan
sistem komunikasi tunarungu yang tepat (metode pemerolehan bahasa yang
ditawarkan Metode Maternal Reflektif).
Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini,
dengan memberikan layanan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram,
terarah, kontinyu dan berkesinambungan.
Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan
alat bantu dengar secara benar, meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam
rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem perawatanya.
Strategi optimalisasi semua komponen sekolah ; guru,
orangtua/masyarakat, lingkungan dan sarana prasarana dalam pelayanan pendidikan
siswa tunarungu secara berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar